Kamis, 14 Februari 2008

Kelestarian Lingkungan

Adanya kementrian negara lingkungan hidup pada tahap-tahap akhir pemerintahan 'orde baru', membuat masyarakat Indonesia sadar lingkungan dan kelestarian alam. Ditunjang kemudian oleh berdirinya LSM terkait seperti WALHI segera merespons dan mencoba mencegah pembabatan hutan untuk berladang dan berkebun yang biasa dilakukan petani tradisional pada musim tanam setiap tahun. Tapi selanjutnya, pemerintah orde baru secara kontroversial telah memberi kph dan kesempatan pada kroni-kroninya untuk melakukan deforestasi secara besar-besaran. Rencana penanaman kembali dengan dananya memang diusulkan dan disetujui, tapi pelaksanaan dilapangan hanyalah fiktip dan akal-akalan. Sehingga kerusakan hutan tropis negeri tercinta ini menjadi tidak terperikan !

Demikian pula dibidang pertambangan, kesadaran masyarakat terhahadap pencemaran lingkungan sekitar, terutama manusia maupun fauna dan flora sudah sangat baik. Karena mereka tahu pada pertambangan tertentu harus digunakan reagens kimia yang berbahaya, seperti air raksa dan senyawa sianida. Sehingga perusahaan yang sudah beroperasi sejak 'voor de oorlog' seperti Tambang Mas Cikotok di era akhir operasinya, sempat tidak luput dari protes masyarakat setempat karena dianggap membahayakan. Padahal sudah semenjak tahun 1939 perusahaan tersebut telah menggunakan proses cyanidasi tanpa ada dampak negatip terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan alam sekitarnya.

Paberik-pabrik yang praktek operasinya menghasilkan limbah berbahaya diawasi dengan ketat, terutama yang keberadaannya dikota atau dekat dengan pemukiman penduduk.

Semuanya harus membuat dan mengadakan analisa dampak lingkungan, dan berdasarkan itu upaya pencegahannya harus dilakukan dengan cermat. Tapi, pada pelaksanaannya dapat juga menyimpang dengan pemberian 'uang suap' pada oknum birokrasi terkait.

Di 'era reformasi' seperti telah dipaparkan sebelumnya, euphoria telah merubah kesadaran masyarakat terhadap lingkungan secara diametral berlawanan. Misalnya, pembabatan hutan di daerah-daerah semakin merajalela, karena masyarakat bersemboyan "daripada dibabat orang Pusat, lebih baik kita babat untuk kita". Mereka menggunduli bukit-bukit dan bagian besar dari gunung-gunung disekitar mereka.
Pertambangan secara liar dilakukan masyarakat lokal dengan semboyan yang sama. Terjadi penggalian mulai dari bahan bangunan seperti pasir-batu gunung- batu kapur, sampai ke batubara dan bahan galian berharga lainnya. Terutama emas dilakukan hampir disepanjang sungai-sungai yang menunjukan keberadaannya, tanpa atau dengan menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Dilakukan dengan sembarangan tanpa memperhatikan 'safety'/keamanan dan dampak lingkungan.

Tidak usah tunggu waktu yang lama, dampaknya telah sama-sama kita rasakan sekarang juga !
Yaitu banjir dan longsor dimusim penghujan ini. Dan tunggu di musim kemarau yang akan datang akan kesulitan karena tiadanya air, tanah kering kerontang sampai retak-retak.
Kedua kondisi tersebut akan berdampak paceklik yang berkepanjangan dan rakyat yang telah miskin akan lebih miskin lagi, penderitaan akan semakin nista ! Karena kurang gizi dan kelaparan, daya tahan tubuh menjadi minim timbul berbagai penyakit dimana-mana...!

Respons dan reaksi dari para cendikiawan dan LSM terkait kadang agak berlebihan pula, mereka seakan-akan ' menabukan' proyek-proyek yang berdampak terhadap kelestarian lingkungan, seperti kehutanan dan pertambangan termasuk terakhir pada pltn/pembangunan listrik tenaga nuklir. Seyogianya kita 'menabukan' proyek tidak berdasarkan dampak lingkungan thok, karena teknologi pencegahan dampak tersebut pasti sudah ada atau dapat diadakan. Negara-negara maju tidak akan maju seperti sekarang, jika mereka tidak berani menghadapi risiko dampak lingkungan proyek-proyeknya diawal pembangunannya.

Kecuali kalau kita memakai 'sistim prioritas' dalam mengelola konservasi sumber daya alam, misalnya mendahulukan pertanian/perkebunan/kehutanan/perikanan/kelautan yaitu sumber yang sifatnya 'perpetual' dapat diganti secara berkelanjutan. Baru dikemudian hari dilakukan pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak langgeng seperti bahan galian/minyak gas bumi. Itu akan lebih bersifat strategis !

Senin, 04 Februari 2008

Minggu, 03 Februari 2008

INABANGKIT Euphoria Abstract

More than 3 (three) decades (1966-1998), the so called 'new era' under Suharto's regime was so oppressive militairistic with full of sadism against human rights of most Indonesian people, especially those who were standing on the opposite side of the governmental policies. Massacres at the start up of the regime followed by kidnapping and dismissal of disliked persons, throwing into prison and jail without court and finally ' discrimination or economic embargo' against their families was just means of slowly killing for them.
The 'country constructions' have been carried out by foreign financial debts 4-5 milliars US$ annually, with 30-40 % lost annualy by collution, corruptions and nepotism popularly called KKN. Opened a deep gap between the haves/minority richest and the mayority poors and affecting social jealouzies among the peoples. Nomore feeling of togetherness among them and government authorities. This condition was more significantly worse by regional economic crisis beginning year 1996 up to now. Unemployment increased because of escapadous cronies ( mostly bankers, enterpreneurs) taking all their money capitals (BLBI credits) out and deposited abroad.
Prices included of important principal daily commodities were flying very high, not to be reached by peoples whose living standard/purchasing power was already dropped down. Many of them became frustation and compensated themselves by drinking alcoholic and using narcotic drugs ! This of course increasing criminal intensities like stealing and robberies, sexual harrasments and rapes and other bad habits.
All stated above were reasons for students, suported by the whole people, to organize 'people power' for tipple out Suharto regime and his 'new era'/orde baru. This reached a climax on May 21, 1998 when Suharto resigned and requested BJ. Habibi as his successor according to 1945 Konstitution.
It was reasonable also that spontaneously after the fall of the regime the peoples strongly influenced by euphoriarism and requested reformation almost in 'all fields of life' which commensurate with human rights ! Suharto's "new era" was then changed by "reformation era", the era of 'no day without demonstration' !